Beranda | Artikel
Pentingnya Jasa Kedua Orang Tua
Kamis, 29 Agustus 2024

Bersama Pemateri :
Ustadz Anas Burhanuddin

Pentingnya Jasa Kedua Orang Tua merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Washaya wa Taujihat Fi Fiqhi at-Ta’abbud Li Rabbi al-Bariyyat. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 22 Safar 1446 H / 27 Agustus 2024 M.

Kitab Washaya wa Taujihat Fi Fiqhi at-Ta’abbud Li Rabbi al-Bariyyat

Pada pertemuan pertama, kita telah membahas bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerlukan kita, tidak membutuhkan ibadah kita, dan kita tidak dapat memberikan manfaat atau membahayakan-Nya. Meskipun demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap bergembira dengan taubat hamba-Nya, lebih dari kegembiraan seseorang yang kehilangan untanya di tengah padang pasir. Unta tersebut membawa semua bekal makanan dan minuman, dan ketika orang itu putus asa serta sangat sedih, tiba-tiba unta itu muncul kembali. Orang tersebut begitu gembira sampai salah ucap, mengatakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Engkau adalah hamba-Ku dan aku adalah Tuhanmu.” Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih bahagia dengan taubat hamba-Nya daripada kegembiraan orang yang menemukan untanya kembali.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga lebih menyayangi hamba-Nya daripada kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya. Renungan seperti ini seharusnya membuat kita semakin bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semakin mengagungkan-Nya, mentaati-Nya, serta beribadah lebih banyak kepada-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Jangan sampai kita seperti sebagian orang yang, meskipun Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan banyak kebaikan dari langit untuknya, ia malah membalasnya dengan maksiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan cinta-Nya melalui berbagai anugerah, tetapi orang tersebut malah memancing murka-Nya dengan berbagai pembangkangan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mendekat kepada kita meskipun Dia tidak membutuhkan kita, sedangkan kita sering kali berpaling dari-Nya, padahal kita sangat membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah bergembira dengan taubat kita sebagai hamba-Nya, namun sering kali kita tidak bersedih atas berbagai maksiat dan pembangkangan yang kita lakukan. Ini adalah sebuah paradoks, suatu kontradiksi yang terjadi pada sebagian hamba yang tidak memahami hak besar yang dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akibatnya, mereka justru memancing murka Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai maksiat yang dilakukan.

Ini adalah kesimpulan dari renungan pertama dalam kitab yang ditulis oleh guru kita, Prof. Dr. Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, hafidzahullahu ta’ala. Salah satu poin penting yang disebutkan adalah bahwa kita yang sebenarnya membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan sebaliknya. Mengapa kita beribadah kepada Allah? Karena kitalah yang membutuhkan ibadah, kita yang membutuhkan sujud, ketenangan jiwa, dan kedamaian batin. Kita yang memerlukan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Maka, semua ibadah yang kita lakukan, buahnya akan kita petik sendiri. Sebagian dari buah itu akan kita rasakan saat masih di dunia, namun lebih banyak lagi yang akan kita nikmati manfaatnya kelak di akhirat.

Pentingnya jasa kedua orang tua

Wasiat yang kedua adalah bahwa semua umat manusia sepakat mengenai pentingnya jasa kedua orang tua. Baik dari zaman dahulu hingga sekarang, baik yang beriman maupun yang kafir, yang baik maupun yang buruk, semuanya sepakat akan kewajiban menjaga hak kedua orang tua dan bahwa kita tidak boleh melupakan jasa-jasa mereka. Mereka adalah sebab kita ada di dunia ini. Kita bisa berada di atas muka bumi karena mereka; mereka menikah, menjalani sunnah kauniyah berupa hubungan suami istri, sehingga ibu kita hamil. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya kita lahir di dunia ini.

Proses tersebut cukup panjang, bahkan ada yang telah berusaha dalam jangka waktu yang lama, namun belum juga diberikan keturunan. Ada yang hanya diberi satu anak, meskipun setelah itu berusaha lagi, mereka tidak diberikan keturunan tambahan. Maka, ini adalah proses yang panjang yang tidak semua orang diberikan taufik untuk berhasil menjalani. Orang tua kita termasuk orang-orang yang terpilih dan mendapat anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa salah satu bentuk kesempurnaan sebagai manusia, yaitu menikah dan memiliki keturunan.

Dalam proses itu, ibu kita mengalami fase-fase yang berat dalam hidupnya: rasa sakit saat mengandung, dan rasa berat saat kandungan semakin besar. Ketika janin, yaitu kita pada waktu itu, semakin besar, semakin berat pula beban yang dirasakan oleh ibu kita.

Ditambah lagi, rasa sakit yang dirasakan oleh ibu saat melahirkan merupakan salah satu bentuk pengorbanan yang sangat besar. Seorang ibu berjuang mati-matian menahan rasa sakit yang luar biasa, dan banyak pula yang meninggal dunia dalam proses tersebut. Setelah itu, kedua orang tua kita membesarkan, mendidik, serta merawat kita. Ibu menyusui, memberikan makan, memasak, dan mendidik kita, sementara ayah bekerja keras untuk memberikan nafkah terbaik. Keduanya juga melindungi kita sebagai anak-anak.

Ini semua adalah jasa yang tidak boleh dilupakan dari kedua orang tua. Oleh karena itu, dalam Islam, kita diperintahkan untuk berbakti kepada orang tua (Birrul Walidain) dan dilarang untuk durhaka kepada mereka. Birrul Walidain adalah salah satu ibadah yang seharusnya ringan dilakukan oleh seorang Muslim. Selain karena diperintahkan oleh Islam, ibadah ini juga sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia.

Tanpa disuruh untuk berbakti kepada orang tua, seharusnya seorang anak mencintai dan berbakti kepada mereka. Mengapa? Karena ia mengetahui jasa kedua orang tuanya, mulai dari fase kehamilan, melahirkan, membesarkan, mendidik, melindungi, hingga memberikan nafkah. Ini adalah jasa yang tidak boleh dilupakan.

Seharusnya, bahkan tanpa adanya perintah untuk berbakti dan larangan untuk durhaka kepada orang tua, sebagai manusia yang berakal dan memiliki fitrah, kita sudah mencintai kedua orang tua secara otomatis. Ini juga adalah fitrah yang Allah tanamkan kepada kita sejak kecil.

Kita semua mencintai kedua orang tua. Namun, ada sebagian yang kehilangan fitrah ini, sehingga mereka sampai durhaka kepada kedua orang tua, atau paling tidak, tidak berbakti dan berbuat ihsan kepada mereka. Ini menyelisihi fitrah. Normalnya, seorang manusia—bahkan jika dia bukan seorang Muslim—secara fitrah seharusnya otomatis mencintai kedua orang tua, berusaha membalas jasa-jasa mereka, berbuat baik, dan tidak durhaka kepada mereka.

Birrul Walidain adalah sebuah ibadah yang seharusnya ringan dilakukan. Mengapa? Karena ini adalah ibadah yang sesuai dengan fitrah. Masing-masing dari kita ingin membalas kebaikan kedua orang tua, dan sejak kecil kita sudah memiliki rasa sayang yang besar kepada mereka, melebihi sayang kita kepada orang lain. Jika salah satu orang tua atau kedua orang tua meninggal dunia, itu akan menjadi hari yang paling gelap dan menyedihkan dalam hidup, yang menunjukkan bahwa fitrah masih bertahan dalam hati, dan Allah telah menganugerahkan fitrah itu kepada kita.

Namun, jika ada seseorang yang durhaka, tidak mau berbakti (Birrul Walidain) kepada orang tuanya, atau bahkan sampai menyia-nyiakan mereka, mengusir mereka dari rumah, dan tidak merasa sedih ketika mereka sakit atau meninggal dunia, maka orang tersebut sudah tercabut fitrahnya.

Adapun seorang manusia yang baik dan seorang Muslim yang taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia akan menjalankan kewajiban Birrul Walidain dengan sangat ringan dan mudah. Sebab, secara fitrah, dia sudah didorong dan diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mencintai kedua orang tuanya dan berusaha membalas jasa-jasa mereka.

Kesimpulannya, Birrul Walidain adalah ibadah yang tidak hanya diperintahkan oleh Islam, tetapi juga selaras dengan fitrah kita sebagai manusia. Oleh karena itu, seharusnya berbakti kepada orang tua menjadi sebuah ibadah yang ringan untuk dilakukan.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian Mukaddimah Kitab Washaya wa Taujihat Fi Fiqhi at-Ta’abbud Li Rabbi al-Bariyyat


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54424-pentingnya-jasa-kedua-orang-tua/